KAJIAN
LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF TERHADAP SEMBILAN BAHASA DI FLORES
PENGANTAR
Kajian
terhadap Sembilan bahasa di Flores dilakukan dengan metode komparatif, yaitu
untuk mengumpulkan bukti-bukti bahwa dalam bahasa-bahasa itu terdapat hubungan
kekerabatan. Menurut Antila, 1972:20 tugas utama linguistik historis komparatif
mempunyai kewenangan dalam mengkaji relasi historis kekerabatan diantara
sekelompok bahasa tertentu. Hal itu dikarenakan karena Linguistik Historis
Komparatif merupaan cabang ilmu linguistic yang mempunyai tugas utama
menetapkan fakta dan tingkat kekerabatan antarbahasa, yang berkaitan erat
dengan pengelompokan bahasa-bahasa kerabat.
Kebanyakan
penelitian-penelitian mengenai bahasa Austronesia telah banyak dilakukan pada
bahasa-bahasa Indonesia Barat dan telah berhasil merekonstruksi sejumlah
protobahasa pada tingkat yang lebih rendah. Penelitian terhadap bahasa-bahasa
Indonesia timur sendiri masih tergolong langka. Oleh karena itu penelitian
terhadap sembilan bahasa di Flores ini dapat dijadikan sumbangan yang sangat
berguna dalam kajian mengenai bahasa Austronesia.
Sebelumnya
ada beberapa linguist yang mengkaji bahasa-bahasa di Nusa Tenggara Timur dan
Barat. Eser (1938) telah secara tegas
membagi bahasa-bahasa sekerabat di Flores menjadi dua kelompok sebagai berikut:
1. Kelompo Bima-Sumba (BS)
a. Manggarai (Mg)
b. Rembong (Rb)
c. Komodo (Km)
d. Ngadha (Ng)
e. Palu’e (Pl)
f. Lio (li)
2. Kelompok Ambon-Timor (AT)
a. Sika (Sk)
b. Lamaholot (Lh)
c.
Kedang
(Kd)
Pengelompokan
bahasa-bahasa diatas juga diilhami oleh linguist bernama Jonker, komparativis
Belanda yang merintis studi komparatif bahasa-bahasa di Nusa Tenggara Timur.
Ada juga ahli linguistik lain yang juga mengelompokan bahasa-bahasa Flores,
Brandes. Meskipun pengelompokan bahasa Flores menurut Brandes mendapat
sanggahan dari Jonker, pandangan Brandes yang berhubungan dengan bahasa-bahasa
sekerabat di Flores masih dianut Jonker. Pandangan itulah apa yang disebut
dengan Garis Brandes. Garis Brandes mengingatkan tentang garis pemisah
pada peta yang membagi bahasa-bahasa nusantara atas kelompok Nusantara Timur
dan Nusantara Barat. Lintasan yangmelewati Flores dan kepulauan Solor telah
memisahkan bahasa-bahasa Flores Barat (Mg, Rb, Km, Ng, Li, dan Pl) dan bahasa
Flores Timur (Sk, Lh, Kd). Sehingga
menurut Brandes apa yang disebut bahasa Flores Barat termasuk kedalam Nusantara
Barat dan bahasa Flores Timur masuk kedalam Busantara Timur.
Jika
dilihat pada tingkat criteria sintaksis, pengelompokan bahasa Flores menurut
Brandes mendapatkan sanggahan dari Jonker. Jonker berpegang pada dalil bahwa
bila cirri-ciri linguistic tertentu telah dikenakan sebagai criteria
pengelompokan bagi bahasa-bahasa pada satu wilaya, tidak dapat sekaligus pula
berlaku bagi pengelompokan bahasa yang independen di wilayah ini. Misalnya
telah diperlihatkan Jonker bahwa evidensi pada bahasa Banggai Sulawesi Tengah
menurut Brandes termasuk pada Nusantara Barat menunjukan pola urutan konstruksi
genetif yang sama dengan bahasa Nusantara Timur Lainnya. Padahal menurut
Brandes, konstruktif genetif terbalik diajukan sebagai pembeda antara kelompok
Nusantara Timur. Bentuk konstruktif generative pada kelompok Nusantara Barat
yaitu urutan ‘unsur pusat’ mendahului ‘unsur atributnya’, sedangkan bahasa
Nusantara Timur adalah sebaliknya bahwa ‘unsur atribut’ mendahului ‘unsur
pusat’.
Karena
perbedaan pendapat itu munculah beberapa asumsi sebagai berikut:
a. Pembagian bahasa-bahasa di Flores atau
kelompok t dan BS seperti dalam peta Esser (1938) sesuai pendapat Jonker belum
dilandasi oleh hasil penelitian yang mendalam.
b. Hubungan antarbahasa sekerabat di Flores
perlu dikaji dengan lebih mendalam untuk menelusuri sejarah bahasa-bahasa
tersebut secara saksama.
c. Pandangan Brandes-Jonker yang dicetuskan
dalam kurun waktu hamper seabad lampau perlu dikaji kembali dan disesuaikan
dengan kemajuan yang dicapai pada berbagai bidang yang berkaitn dengan studi
Austronesia.
Berdasarkan
gambaran diatas, pokok-pokok menarik dalam kajian ini dirumuskan sebagai
berikut:
a. Bahasa-bahasa sekerabat Flores hingga
kini belum diteliti sejarahnya secara lebih mendalam
b. Penetapan fakta dan tingkat kekerabatan
perlu diamati secara sistematis dan mendalam untuk mencari pemecahan yang lebih
memuaskan dalam pengelompokan bahasa ini.
c. Jawaban yang memuaskan akan menjadi
sumbangan yang bermanfaat dalam upaya menata sejarah bahasa-bahasa Indonesia
Timur pada umumnya.
d. Perlu ditempuh usaha merekontruksi
protobahasa Flores yang merupakan bahasa asal bagi keenam bahasa Flores yang
diteliti.
e. Dalam merekonstruksi FPL, pendekatan
kualittif yang digunakan dalam telaah komparatif ini bermanfaat untuk
temuan-temuan linguistic sebagai evidensi dalam penetapan fakta.
f. Penelitian bahasa yang menjangkau bahasa-bahasa
lain diluar Flores secara kuantitatif diperukan dalam penyusunan hipotesis
dasar dari penelitian ini.
Ada
dua tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:
a. Pengelompokan Bahasa
Dalam rangka menetapkan fakta dan
tingkat kekerabatan antarbahasa Flores yang diteliti, melalui penelitian ini
akan dirinci lebih lanjut anggota subkelompok dari kelompok bahasa sekerabat
itu. Penelitian ini mempunyai tujuan tersiratyaitu agar penelitian ini dapat
menyumbangkan informasi yang diperlukan untuk melengkapi pengetahuan yang lebih
baik mengenai hubungan kekerabatan bahasa-bahasa di Indonesia Timur
b. Rekonstruksi bahasa Asal
Bahasa yang diteliti akan direkonstruksi
untuk menetapkan bahasa asal serta mesobahaa (protobahasa pada tingkat yang
paling rendah pada bahasa yang lebih awal). Rekonstruksi bahasa dilakukan
secara sistematis dan sesuai prosedur yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga
bisa diamati hubungannya dengan hasil rekonstruksi bahasa asal yang paling
tinggi, yaitu protobahasa Austronesia (PAN). Rekonstruksi bahasa asal dalam
penelitian ini menelaah tataran fonologi dan leksikon. Telaah komparatif
dibidang fonologi dimaksudkan untuk menetapkan fonem-fonem bahasa asal yang
refleksnya tampak pada bahasa Flores yang diteliti. Rekonstruksi leksikon bahasa
asal merupakan langkah lanjutan dari rekonstruksi fonologinya untuk menetapkan
etymon protobahaa dari bahasa yang dibandingkan berdasarkan perangkat kognat
yang ada. Penelitian dibidang linguistic komparatif cukup sampai pada tataran
fonologi dan leksikon saja karena kaidah-kaidah korespondensi fonem sudah
disusun tanpa mengacu pada tataran yang hierarki lebih tinggi seperti
morfologi, sintaksis dan semantic.
Menurut Dyen dalam pendekatan
kuantitatif yang dilakukannya terhadap bahasa-bahasa subkelompok Bali serta
sekelompok bahasa NTB dan NTT, mengisyaratkan adanya kekerabatan yang lebih
erat. Beliau juga mengatakan bahwa terdapat kekerabatan yang lebih erat
antarbahasa di Flores dalam subkelompok Sika (Ende (Li), Sk dan Lh). Peneliti
lain, Capell (1969:41) meragukan keaustronesiaan bahasa-bahasa Flores. Dalam
peta diagramatiknya, wilayah bahasa Austronesia di Indonesia memasukan
bahasa-bahasa FB ke dalam wilayah bahasa tipe Oseanik dan bahasa FT kedalam wilayah
Indonesia Timur.
Selain Dyen dan Capell, Blust dalam
sejumlah artikelnya mengajukan sebuah hipotesis yang mengemukakan bahwa
bahasa-bahasa di NTT dan sejumlah bahasa Maluku merupakan anggot subkelompok
Melayu-Polinesia Tengah atau CentralMalayo-Polynesian (CMP). Menurutnya,
bahasa-bahasa di Flores mempunyai hubungan kekerabatan yang termauk dalam
subkelompok CMP.
Hubungan antarbahasa dapat di buktikan
berdasarkan unsure-unsur warisan dari protobahasa. Seperti yang telah
disampaikan oleh Bynon, protobahasa meruakan suatu gagasan teoritis yang
dirancangkan untuk menghubungkan system-sistem bahasa sekerabat dengan
memanfaatkan sejumlah kaidah. Misalnya
menggunakan kaidah perubahan bunyi.
Dengan menggunakan perangkat kognat
suatu bahasa dapat ditelusuri hubungan kekerabatannya dengan menelaah
perubahan-perubahan bunyi yang yang selanjutnya dapat diformulasikan
kaidah-kaidah perubahan bunyi yang teratur atau korespondensi fonem antarbahasa
sekerabat. Menurut Dyen (1978:34) pemilihan kata-kata bahasa sekarang merupakan
kelanjutan dari bahasa asalnya. Olehkarena itu korespondensi fonem yang
diformulasikan dari perangkat kognat dapat menjelaskan hubungan kekerabatan
suatu bahasa.
Pembuktian keterkaitan bahasa satu
dengan bahasa lain perlu dilakukan pengelompokan bahasa berdasarkan kualitatif
berupa inovasi bersama secara eksklusif. Inovai yaitu prubahan yang
memperlihatkanpenyimpangan dari kaidah perubahan yang lazim. Bukti-bukti yang
ditemukan melalui pendekatan kualitatif dapat ditelusuri secara lebih tuntas
melalui prosedur rekonstruksi bahasa asal. Semkin banyak bukti kualitatif,
semakin meyakinkan pula hasil pengelompokan yang mencerminkan relasi historis
kekerabatan bahasa.
Pendekatan lainnya yang mungkin
dilakukan adalah pendekatan kuantitatif, yaitu dengan menggunakan daftar kata
swadesh untuk menelusuri padanan perangkat kognat bahasa-bahasa yang diteliti.
Bilamana terdapat bukti-bukti kuantitatif yang sejalan dengan bukti-bukti
kualitatif maka hasil yang dicapai oleh pendekatan kuantitatif merupakan
hipotesis yang sah bagi pendekatan kualitatif.
Dalam kajian ini dapat dirumuskan
hipotesis yang dikemukakan oleh peneliti sebagai berikut:
1. Bahasa-bahasa Flores mempunyai hubungan
kekerabatan yang erat karena diduga berasal dari induk bahasa yang sama.
2. Bahasa-bahasa subkelompok PB salah satu
simpai bipartite dari kelompok FL, mempunyai hubungan erat antarsesamanya jika
dibandingkan dengan FT yang diduga merupakan simpai bipartite yang lain.
3. Bahasa-bahasa anggota kelompok FB diduga
diturunkan dari bahasa asalnya yaitu, yaitu PFB; dan bahasa-bahasa anggota
subkelompok FT diturunkan dsri bahaa asalnya, yaitu PFT.
Penelitian bahasa flores ini dilakukan
beberapa tahap pelaksanaan penelitian yaitu:
1.
Pengumpulan
data
Melalui
studi pustaka dan penelitian lapangan data dikumpulkan dan dianalisis sementara
2. Pemungutan Data
Data
berupa perangkat kognat dipungut dan dipisahkanatas unsur asli
3. Pengelompokan Bahasa
Melalui
bukti-bukti kuantitatif dan kualitatif pengelompokan bahasa ditetapkan.
4. Penetapan Tahap Rekonstruksi
Setelah
diperoleh gambaran garis silsilah kekerabatan bahasa menurut pengamatan
kuantitatif, dapat ditetapkan tahap rekonstruksi yang akan ditempuh.
5. Rekonstruksi Fonologi
Penetpn
protofonem melalui rekonstruksi fonologi dengan menggunakan perangkat kognat.
6. Rekonstruksi Leksikal
Berdasarkan
perangkat kognat-kognat asli ditetapkan etymon (protokata) dengan
mempertimbangkankaidah perubahan fonem yang berlaku bagi bahasa-bahasa
sekerabat anggota subkelompok.
7. Pengamatan Hubungan Antarprotobahasa
pada Dua Peringkat yang Berbeda
Berdasarkan
hasil formulasi kaidah korespondensi protofonem dapat ditetapkan evidensi
pengelompokan berupa inovasi bersama dibidang fomologi bagi kelompok bahasa
pada peringkat yang lebih rendah secara eksklusif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar