Mutiara

Rabu, 27 April 2016

KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF TERHADAP SEMBILAN BAHASA DI FLORES

KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF TERHADAP SEMBILAN BAHASA DI FLORES

PENGANTAR
Kajian terhadap Sembilan bahasa di Flores dilakukan dengan metode komparatif, yaitu untuk mengumpulkan bukti-bukti bahwa dalam bahasa-bahasa itu terdapat hubungan kekerabatan. Menurut Antila, 1972:20 tugas utama linguistik historis komparatif mempunyai kewenangan dalam mengkaji relasi historis kekerabatan diantara sekelompok bahasa tertentu. Hal itu dikarenakan karena Linguistik Historis Komparatif merupaan cabang ilmu linguistic yang mempunyai tugas utama menetapkan fakta dan tingkat kekerabatan antarbahasa, yang berkaitan erat dengan pengelompokan bahasa-bahasa kerabat.
Kebanyakan penelitian-penelitian mengenai bahasa Austronesia telah banyak dilakukan pada bahasa-bahasa Indonesia Barat dan telah berhasil merekonstruksi sejumlah protobahasa pada tingkat yang lebih rendah. Penelitian terhadap bahasa-bahasa Indonesia timur sendiri masih tergolong langka. Oleh karena itu penelitian terhadap sembilan bahasa di Flores ini dapat dijadikan sumbangan yang sangat berguna dalam kajian mengenai bahasa Austronesia.
Sebelumnya ada beberapa linguist yang mengkaji bahasa-bahasa di Nusa Tenggara Timur dan Barat.  Eser (1938) telah secara tegas membagi bahasa-bahasa sekerabat di Flores menjadi dua kelompok sebagai berikut:
1.      Kelompo Bima-Sumba (BS)
a.       Manggarai (Mg)
b.      Rembong (Rb)
c.       Komodo (Km)
d.      Ngadha (Ng)
e.       Palu’e (Pl)
f.       Lio (li)
2.      Kelompok Ambon-Timor (AT)
a.       Sika (Sk)
b.      Lamaholot (Lh)
c.       Kedang (Kd)
Pengelompokan bahasa-bahasa diatas juga diilhami oleh linguist bernama Jonker, komparativis Belanda yang merintis studi komparatif bahasa-bahasa di Nusa Tenggara Timur. Ada juga ahli linguistik lain yang juga mengelompokan bahasa-bahasa Flores, Brandes. Meskipun pengelompokan bahasa Flores menurut Brandes mendapat sanggahan dari Jonker, pandangan Brandes yang berhubungan dengan bahasa-bahasa sekerabat di Flores masih dianut Jonker. Pandangan itulah apa yang disebut dengan Garis Brandes. Garis Brandes mengingatkan tentang garis pemisah pada peta yang membagi bahasa-bahasa nusantara atas kelompok Nusantara Timur dan Nusantara Barat. Lintasan yangmelewati Flores dan kepulauan Solor telah memisahkan bahasa-bahasa Flores Barat (Mg, Rb, Km, Ng, Li, dan Pl) dan bahasa Flores Timur (Sk, Lh, Kd).  Sehingga menurut Brandes apa yang disebut bahasa Flores Barat termasuk kedalam Nusantara Barat dan bahasa Flores Timur masuk kedalam Busantara Timur.
Jika dilihat pada tingkat criteria sintaksis, pengelompokan bahasa Flores menurut Brandes mendapatkan sanggahan dari Jonker. Jonker berpegang pada dalil bahwa bila cirri-ciri linguistic tertentu telah dikenakan sebagai criteria pengelompokan bagi bahasa-bahasa pada satu wilaya, tidak dapat sekaligus pula berlaku bagi pengelompokan bahasa yang independen di wilayah ini. Misalnya telah diperlihatkan Jonker bahwa evidensi pada bahasa Banggai Sulawesi Tengah menurut Brandes termasuk pada Nusantara Barat menunjukan pola urutan konstruksi genetif yang sama dengan bahasa Nusantara Timur Lainnya. Padahal menurut Brandes, konstruktif genetif terbalik diajukan sebagai pembeda antara kelompok Nusantara Timur. Bentuk konstruktif generative pada kelompok Nusantara Barat yaitu urutan ‘unsur pusat’ mendahului ‘unsur atributnya’, sedangkan bahasa Nusantara Timur adalah sebaliknya bahwa ‘unsur atribut’ mendahului ‘unsur pusat’.
Karena perbedaan pendapat itu munculah beberapa asumsi sebagai berikut:
a.       Pembagian bahasa-bahasa di Flores atau kelompok t dan BS seperti dalam peta Esser (1938) sesuai pendapat Jonker belum dilandasi oleh hasil penelitian yang mendalam.
b.      Hubungan antarbahasa sekerabat di Flores perlu dikaji dengan lebih mendalam untuk menelusuri sejarah bahasa-bahasa tersebut secara saksama.
c.       Pandangan Brandes-Jonker yang dicetuskan dalam kurun waktu hamper seabad lampau perlu dikaji kembali dan disesuaikan dengan kemajuan yang dicapai pada berbagai bidang yang berkaitn dengan studi Austronesia.
Berdasarkan gambaran diatas, pokok-pokok menarik dalam kajian ini dirumuskan sebagai berikut:
a.       Bahasa-bahasa sekerabat Flores hingga kini belum diteliti sejarahnya secara lebih mendalam
b.      Penetapan fakta dan tingkat kekerabatan perlu diamati secara sistematis dan mendalam untuk mencari pemecahan yang lebih memuaskan dalam pengelompokan bahasa ini.
c.       Jawaban yang memuaskan akan menjadi sumbangan yang bermanfaat dalam upaya menata sejarah bahasa-bahasa Indonesia Timur pada umumnya.
d.      Perlu ditempuh usaha merekontruksi protobahasa Flores yang merupakan bahasa asal bagi keenam bahasa Flores yang diteliti.
e.       Dalam merekonstruksi FPL, pendekatan kualittif yang digunakan dalam telaah komparatif ini bermanfaat untuk temuan-temuan linguistic sebagai evidensi dalam penetapan fakta.
f.       Penelitian bahasa yang menjangkau bahasa-bahasa lain diluar Flores secara kuantitatif diperukan dalam penyusunan hipotesis dasar dari penelitian ini.

Ada dua tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:
a.       Pengelompokan Bahasa
Dalam rangka menetapkan fakta dan tingkat kekerabatan antarbahasa Flores yang diteliti, melalui penelitian ini akan dirinci lebih lanjut anggota subkelompok dari kelompok bahasa sekerabat itu. Penelitian ini mempunyai tujuan tersiratyaitu agar penelitian ini dapat menyumbangkan informasi yang diperlukan untuk melengkapi pengetahuan yang lebih baik mengenai hubungan kekerabatan bahasa-bahasa di Indonesia Timur
b.      Rekonstruksi bahasa Asal
Bahasa yang diteliti akan direkonstruksi untuk menetapkan bahasa asal serta mesobahaa (protobahasa pada tingkat yang paling rendah pada bahasa yang lebih awal). Rekonstruksi bahasa dilakukan secara sistematis dan sesuai prosedur yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga bisa diamati hubungannya dengan hasil rekonstruksi bahasa asal yang paling tinggi, yaitu protobahasa Austronesia (PAN). Rekonstruksi bahasa asal dalam penelitian ini menelaah tataran fonologi dan leksikon. Telaah komparatif dibidang fonologi dimaksudkan untuk menetapkan fonem-fonem bahasa asal yang refleksnya tampak pada bahasa Flores yang diteliti. Rekonstruksi leksikon bahasa asal merupakan langkah lanjutan dari rekonstruksi fonologinya untuk menetapkan etymon protobahaa dari bahasa yang dibandingkan berdasarkan perangkat kognat yang ada. Penelitian dibidang linguistic komparatif cukup sampai pada tataran fonologi dan leksikon saja karena kaidah-kaidah korespondensi fonem sudah disusun tanpa mengacu pada tataran yang hierarki lebih tinggi seperti morfologi, sintaksis dan semantic.

Menurut Dyen dalam pendekatan kuantitatif yang dilakukannya terhadap bahasa-bahasa subkelompok Bali serta sekelompok bahasa NTB dan NTT, mengisyaratkan adanya kekerabatan yang lebih erat. Beliau juga mengatakan bahwa terdapat kekerabatan yang lebih erat antarbahasa di Flores dalam subkelompok Sika (Ende (Li), Sk dan Lh). Peneliti lain, Capell (1969:41) meragukan keaustronesiaan bahasa-bahasa Flores. Dalam peta diagramatiknya, wilayah bahasa Austronesia di Indonesia memasukan bahasa-bahasa FB ke dalam wilayah bahasa tipe Oseanik dan bahasa FT kedalam wilayah Indonesia Timur.
Selain Dyen dan Capell, Blust dalam sejumlah artikelnya mengajukan sebuah hipotesis yang mengemukakan bahwa bahasa-bahasa di NTT dan sejumlah bahasa Maluku merupakan anggot subkelompok Melayu-Polinesia Tengah atau CentralMalayo-Polynesian (CMP). Menurutnya, bahasa-bahasa di Flores mempunyai hubungan kekerabatan yang termauk dalam subkelompok CMP.

Hubungan antarbahasa dapat di buktikan berdasarkan unsure-unsur warisan dari protobahasa. Seperti yang telah disampaikan oleh Bynon, protobahasa meruakan suatu gagasan teoritis yang dirancangkan untuk menghubungkan system-sistem bahasa sekerabat dengan memanfaatkan sejumlah kaidah.  Misalnya menggunakan kaidah perubahan bunyi.
           
Dengan menggunakan perangkat kognat suatu bahasa dapat ditelusuri hubungan kekerabatannya dengan menelaah perubahan-perubahan bunyi yang yang selanjutnya dapat diformulasikan kaidah-kaidah perubahan bunyi yang teratur atau korespondensi fonem antarbahasa sekerabat. Menurut Dyen (1978:34) pemilihan kata-kata bahasa sekarang merupakan kelanjutan dari bahasa asalnya. Olehkarena itu korespondensi fonem yang diformulasikan dari perangkat kognat dapat menjelaskan hubungan kekerabatan suatu bahasa.

Pembuktian keterkaitan bahasa satu dengan bahasa lain perlu dilakukan pengelompokan bahasa berdasarkan kualitatif berupa inovasi bersama secara eksklusif. Inovai yaitu prubahan yang memperlihatkanpenyimpangan dari kaidah perubahan yang lazim. Bukti-bukti yang ditemukan melalui pendekatan kualitatif dapat ditelusuri secara lebih tuntas melalui prosedur rekonstruksi bahasa asal. Semkin banyak bukti kualitatif, semakin meyakinkan pula hasil pengelompokan yang mencerminkan relasi historis kekerabatan bahasa.

Pendekatan lainnya yang mungkin dilakukan adalah pendekatan kuantitatif, yaitu dengan menggunakan daftar kata swadesh untuk menelusuri padanan perangkat kognat bahasa-bahasa yang diteliti. Bilamana terdapat bukti-bukti kuantitatif yang sejalan dengan bukti-bukti kualitatif maka hasil yang dicapai oleh pendekatan kuantitatif merupakan hipotesis yang sah bagi pendekatan kualitatif.

Dalam kajian ini dapat dirumuskan hipotesis yang dikemukakan oleh peneliti sebagai berikut:
1.      Bahasa-bahasa Flores mempunyai hubungan kekerabatan yang erat karena diduga berasal dari induk bahasa yang sama.
2.      Bahasa-bahasa subkelompok PB salah satu simpai bipartite dari kelompok FL, mempunyai hubungan erat antarsesamanya jika dibandingkan dengan FT yang diduga merupakan simpai bipartite yang lain.
3.      Bahasa-bahasa anggota kelompok FB diduga diturunkan dari bahasa asalnya yaitu, yaitu PFB; dan bahasa-bahasa anggota subkelompok FT diturunkan dsri bahaa asalnya, yaitu PFT.
Penelitian bahasa flores ini dilakukan beberapa tahap pelaksanaan penelitian yaitu:
1.      Pengumpulan data
Melalui studi pustaka dan penelitian lapangan data dikumpulkan dan dianalisis sementara
2.      Pemungutan Data
Data berupa perangkat kognat dipungut dan dipisahkanatas unsur asli
3.      Pengelompokan Bahasa
Melalui bukti-bukti kuantitatif dan kualitatif pengelompokan bahasa ditetapkan.
4.      Penetapan Tahap Rekonstruksi
Setelah diperoleh gambaran garis silsilah kekerabatan bahasa menurut pengamatan kuantitatif, dapat ditetapkan tahap rekonstruksi yang akan ditempuh.
5.      Rekonstruksi Fonologi
Penetpn protofonem melalui rekonstruksi fonologi dengan menggunakan perangkat kognat.
6.      Rekonstruksi Leksikal
Berdasarkan perangkat kognat-kognat asli ditetapkan etymon (protokata) dengan mempertimbangkankaidah perubahan fonem yang berlaku bagi bahasa-bahasa sekerabat anggota subkelompok.
7.      Pengamatan Hubungan Antarprotobahasa pada Dua Peringkat yang Berbeda
Berdasarkan hasil formulasi kaidah korespondensi protofonem dapat ditetapkan evidensi pengelompokan berupa inovasi bersama dibidang fomologi bagi kelompok bahasa pada peringkat yang lebih rendah secara eksklusif.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar